JAKARTA, KOMPAS.com - WWF Indonesia dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menjalin kerjasama riset untuk mengetahui populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Tesso Nilo, Riau.
Senin (14/1/2013), WWF dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menandatangani nota kesepahaman kerjasama tersebut. Hadir dalam acara itu Direktur Eijkman Prof Sangkot Marzuki, Prof Herawati Sudojo dan CEO WWF Indonesia, Dr Efransjah.
Efransjah mengatakan, "Pengelolaan gajah dan habitatnya memerlukan informasi yang akurat, antara lain tentang status populasi dan sebaran gajah."
Menurut Efransjah, informasi yang tepat tentang gajah Sumatera bisa menjadi dasar dalam penentuan tindakan intervensi atau pengelolaan untuk melestarikan satwa langka itu. Langkah intervensi tepat menentukan keberhasilan konservasi.
Herawati mengungkapkan, estimasi populasi gajah Sumatera dalam riset kerjasama ini dilakukan dengan basis analisis DNA.
Analisis DNA mampu menguak jumlah individu, distribusi, rasio kelamin serta kekerabatannya satu sama lain. Lewat analisis ini, dapat dibandingkan pula karakteristik gajah Sumatera di wilayah Tesso Nilo dengan wilayah Sumatera lain, seperti Way kambas dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Program estimasi populasi gajah Sumatera di Tesso Nilo ini juga melibatkan Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Kementerian Kehutanan dan lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sangkot mengatakan, dalam kerjasama ini, Eijkman mengirimkan stafnya ke Tesso Nilo untuk memberikan pelatihan pengambilan sampel DNA secara benar. Selanjutnya, Eijkman akan membantu melakukan ekstraksi DNA, amplifikasi dan analisis.
Non Invasive
Herawati menguraikan, penghitungan populasi gajah Sumatera berbasis DNA ini dimulai dari pengambilan sampel feses.
"Pada saat feses keluar dari saluran pencernaan, lendir dari usus akan terbawa, juga membawa sel epitel. Dari lendir dan sel epitel itu sampel DNA didapatkan," papar Herawati. Dalam pencacahan populasi, diambil DNA inti sebagai sampel.
Cara non invasive memiliki keuntungan. Dengan populasi gajah yang makin sedikit, peneliti tidak perlu melukai gajah untuk mengambil darah atau sel tubuh agar bisa mendapatkan sampel DNA.
Setelah sampel DNA didapatkan, proses ekstraksi DNA dilakukan. Setiap individu dalam satu spesies memiliki variasi kode genetik. Kode genetik yang khas disebut marka genetik. Dari informasi itu, jumlah individu di suatu daerah bisa diketahui.
Marka genetik juga bisa digunakan untuk mengetahui habitat dan distribusi gajah Sumatera berikut silsilah kekerabatan dengan individu lainnya.
Sebelum bekerjasama dengan WWF Indonesia, Eijkman juga telah meneliti gajah Sumatera di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Way Kambas. Hasil analisis DNA telah dimiliki namun belum dianalisis.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan gajah Sumatera sebagai spesies terancam. Populasinya menurun drastis selama 25 tahun terakhir. perkiraan sejauh ini, populasi gajah di Riau menurun dari sekitar 1300 ekor pada tahun 1984 menjadi 300-330 ekor pada tahun 2009.
Sepanjang tahun 2012, setidaknya ada 17 kasus gajah Sumatera mati di Riau. Dua gajah diantaranya mati di wilayah taman nasional. Kini tiga kasus kematian gajah tengah disidik.